TMMD  

Pijar Di Bawah Gubug Sebatangkara Kartini

Pijar yang Enggan Redup, Potret Kartini. Foto : Hanafi

Hidup tak harus selaras dengan apa yang dicita-citakan, tetapi berfikir “merdeka” akan mampu membius semua fana di dunia. Terus berusaha meski gongongan nasib salalu bersiul. Potret kemiskinan bukan menjadi pembanding hidup sengsara, melainkan lafadh “syukur” lah yang harus terucap. Semisal, Kartini Brangkal ini, pedas asinnya hidup tak menyurutkannya terdiam menadahkan makanan. Berusaha hingga ajal tiba. Bersama Program TMMD ke 104 Kodim 0811 Tuban menyeleraskan angan-angan Kartini untuk meneduhkan rumahnya agar “Nasi Putih” itu tak berubah.

Penulis : Hanafi Wahyudi (Tuban)

Tuban – Hidup sebatangkara tanpa sapa senyum sudah dialaminya sejak kecil. Beratnya hidup sudah menjadi catatan takdir kala dia dilahirkan ke dunia ini.

Hidup tanpa kedua orang tua memang bukan pilihan. Namun, suratan takdir kala itu berkata lain kepada wanita tua renta ini. Dia adalah Kartini (75),warga RT. 01, RW.03,Dusun Kedung Banteng, Desa Brangkal, Kecamatan Parengan, Kabupaten Tuban. Diahirkandari rahim ibu bernama Rumi dan bapakbernama Kemat.

Dahulu, sudah menjadi tradisi. Kisah Siti Nurbaya atau dinikahkan ketika umur belia masih lazim. Di usia sekitar 9 tahun dirinya sudah menikah dengan remaja bernama Sukawi, warga Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban. Perekonomian yang berat mengharuskan pernikahannya hanya dijalani sekitar 3 tahun. Berhenti di tengah jalan begitu saja.

Pijar yang Enggan Redup, Potret Kartini. Foto : Hanafi

Kala itu, dirinya harus mengais rejeki sendiri tanpa ada orang yang menengoknya. Sejalan usianya terus bertambah, tepatnya ketika pertengahan awal tahun 1978 dirinya menikah untuk yang kedua kalinya bersama lelaki bernama Aji, warga Desa Bangilan Kecamatan Bangilan, Kabupaten Tuban.

Cintanya merekah ketika Kartini masih bekerja sebagai tukang bersih bersih Rel Kereta Api. Sedangkan Sang pujaan hati bekerja sebagai petugas menyalakan lampu pijar di Stasiun Kereta Api. Bersamanya kisah klasik untuk masa depan itu ditemukan.

Tanah sejengkal dibelinya bersama sang suami. Rumah kayupun usai dibuatnya rumah. Hunian hangat bareng suami itu menjadi mimpinya kala itu. Kokok ayam saban pagi dilaluinya. Berharap sang fajar masih menyinari keluarga mungilnya.

Saksi bisu itu kini sirna. Stasiun kereta api yang digunakan oleh Belanda untuk mengangkut hasil panen tebu itu menjadi tumpuan keluarganya. Lori itu tinggal kenangan. Menyisakan besitua yang teronggok menahun yang berada di selatan desanya.

Kondisi cintanya juga enggan hinggap lama. Sekitar 5 tahun dari merekahnya mawar pernikahannya kian layu. Dari 2 kisah pernikahannya, Kartini belum dikaruniai anak. Hingga kini, Kartini masih hidud sendiri.

Sanak famili yang dimiliknya juga nyaris menepis sapa. Baik dari keluarga bapaknya atau ibunya. Sisa kenangan yang dia genggam hingga kini hanya rumah reot berukuran 8 Meter X 3,5 Meter. Gubug yang dibelinya saat bekerja peluh keringat bersama suaminya.

Senja ufuk sudah semakin gelap.Umur Kartini semakin tua. Untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya bekerja menjadi buruh rumah tangga. Terkadang buruh cuci, buruh memasak. Tangan yang kian kisut itu semakin lemah. Sudah tidak mampu lagi bekerja terlalu berat.

Potret Asa Kartini, Reot Rumahku Kini Berbalik Berkah, Foto : Hanafi.

Kartini mendiami rumah yang terbilang sangat tidak layak huni. Lantai tanah masih mendominasi seluruh rumahnya dari depan hingga belakang. Kumuh, ketika hujan atau banjir datang dipastikan masuk rumah dan lantai tanah akan becek. Diperparah dengan lokasi rumah Kartini yang lebih rendah dari rumah warga sekitarnya.

“Rumahku ya begini ini dari dulu. Aku sudah tidak punya apa-apa,” kata Kartini sembari menggeleset diatas kasur tidurnya, Sabtu (6/4).

Rumah berdindingkan anyaman bambu dan sebagian papan kayu itu akan semakin mengenaskan. Ketika hujan bercampur angin tiba. Kayu di bagian teras rumah sudah tidak lagi mampu menopang atap genteng batu bata miliknya. Bahkan, rumah nyaris roboh. Dinding yang di sisi timur rumah akan miring, karena kayu tiang penyangganya sudah keropos.

“kalau banjir itu sampai sakdengkul (setinggi lutut orang dewasa/sekitar 60 Cm). Sejakkecil sudah ditinggal mati kedua orangtuaku. Ya menjadi pembantu, yang penting kerja, “ jelasnya dengan berbahasa jawa sambil memandang langit-langit rumahnya yang dipenuhi sarang.

Potret Asa Kartini, Reot Rumahku Kini Berbalik Berkah, Foto : Hanafi.

Renta ini, Kartini sering sakit sakitan. Entah sejak kapan,Kartini tidak ingat pastinya kaki kanannya sakit. Dijelaskannya, awalnya hanya gatal di bagian telapak kaki. Digaruk, hingga lecet.Luka terbuka itu menjalar hingga kakinya melepuh dan luka basah. Saban hari, harus dibersihkan dan diganti kain kasanya. “Ada petugas kesehatan (Mantri) yang datang untuk membantu mengobati,’ ucapnya.

Keadaan ini, membuat Nenek beruban itu kian sulit untuk menapaki roda kehidupan. Hanya sekedar jalan saja harus di bopong oleh orang lain. Beruntung tetangganya masih empati, saban hari membantu aktifitas Kartini, seperti mandi dan mengambil air.

Terlihat, perabotan rumah tangga usang tergeletak di bagian dapurnya. Nampakkotor hingga dipenuhi sarang. Sudah jarang,Kartini menyalakan tungku nasinya, karena kondisi badanyang semakin rapuhitu. Bahkan untuk sekedar makan, harus menunggu belas kasihan handa taulan.

Sejak rumah didiami, Imbuh Kartini, penerangan rumahnya hanya menggunakan api ublik. Baru saja beberapa tahun terakhir ini, tetangganya bernama Suwarsono menyalurkan listrik ke rumahnya. Lampu berdaya terang 10 Watt itu menjadi penerang cahaya di gubuknya.

Disitu, belum ada aliran air yang memadai untuk dipergunakan sebagai air sehat. Lama sekali, air pompa tangan menemani Kartini hanya untuk sekedar membasahi tenggorokan, mandi dan lainnya.

Besar harapan, Pemerintah Desa untuk terus membantu dan meneruskan hajat hidup Kartini. Seperti memberikannya bentuk bantuan langsung tunai, Bantuan Pangan Non Tunsi (BPNT) hingga bantuan sosial keluarga miskin dan lainnya. Secercah harapan itu juga terwujud,ketika Program TMMD bedah Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) menyasarnya.

Bedah rumah dilakukan sebagai bentuk meningkatkan taraf ekonomi dan sumberdaya keluarga miskin. Dengan alokasi dana setiap rumah sebesar Rp. 10.000.000 dari dana CSR perusahaan yang di selaraskan dengan Program TMMD bisa mewujudkan rumah Kartini menjadi layak huni

“rumah Mbah Kartini itu masuk kategori sangat tidak layak, meskipun pada bantuan bedah rumah yang awal sudah memperoleh. Karena kondisi rumah selalu terkena banjir, maka mudah rusak. Kalau untuk makan sehari-hari, ya dibantu teatangganya itu, kadang juga ada bantuan dari progam desa, “ jelas Kepala Desa Brangkal, Zainal Muttaqin saat ditemui terpisah.

Selaras dengan itu, Program TMMD menyulap rumah reot itu menjadi sudah layak huni. Dinding yang seharusnya menghangatkan itu kini terwujud. Bahkan atap rumah yang bocor sudah kembali merapat. Dalam prosesnya pembangunannya Satgas TMMD berjibaku membangun sasaran itu dengan baik.

Bersama warga sekitar, campuran pasir dan semen diaduk agar batu bata menjadi dinding. Kayu jati terpasang menjadi tiang kokoh. Hanya sekitar beberapa hari, rumah itu selesai. Secercah harapan untuk meneruskan sisa hidup terpampang luas. Kartini yang di “merdekakan” usai menjadi sasaran bedah rumah dalam program TMMD kian semangat manatap panasnya mentari.

Beratnya beban yang dialami Kartini sedikit lega. Meski secara periodik, masih dalam daftar sangat miskin. Namun, raut kegembiraan terpancar ketika itu. Sesuap nasi yang dipegangnya dilahap bersama kerupuk. Sembari makan dia menikmati kasur buram yang ada di kamarnya. Meski sesekali merintih karena luka pada kakinya.

Ucapan syukur terus berkumandang pada bibirnya. Atas apa yang diterimakan untuk menyongsong masa tua.