Jawa Tengah, Nusantarapos.co.id Terkadang kita lebih menyadari bahwa kecakapan digital lebih dikuasi anak dari pendidikannya. Oleh karena itu, guru saat ini harus melek digital. Guru harus paham, harus bisa mengendalikan, mengarahkan dan menanamkan nilai positif bagi peserta didiknya.
Kecakapan anak bisa dilihat bagaimana mereka lebih menguasai penggunaan media elektronik seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, atau bahkan digital video, vide games, halaman web, situs web, digital audio seperti mp3 dan mp4, buku elektronik, dan lainnya.
Sri Hatmoko, S.Ag, M.Pdi, Kasi Penmad Kan Kementerian Agama Boyolali mengatakan, rawan terjadi kesalahan dalam penggunaan media digital, karenanya pelu pendewasaan terhadap pengguna pelajar.
Katanya, menurut Siberkreasi & Deloitte (2020), etika digital (Digital Ethic) adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangan, dan mengembangkan tata kelola etika (netiquette) digital dalam kehidupan sehari-hari.
“Adanya etika dalam teknologi dapat mengatur Batasan sikap dan perilaku seseorang di media digital. Hal ini dapat mengurangi tindakan bullying, hoax, pelecehan seksual, hingga ujaran kebencian,” kata Hatmoko dalam diskusi virtual bertema “Literasi Digital dalam Meningkatkan Profil Siswa Madrasah Pancasila Rahmatan Lil Alamin” yang diinisasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia, Rabu (24/5/2023).
“Etika digital juga berfungsi untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan oleh pengguna teknologi digital dan mempertahankan kenyamanan,” sambungnya.
Lanjut Hatmoko, berinteraksi di medsos memerlukan etika digital tertentu karena adanya interaksi dengan warganet. Dua prinsip yang dimiliki yaitu kesopanan dan kesusilaan.
Lalu dia menyarankan agar berhati-hati dalam menuliskan dan menyampaikan pendapat atau pikiran di medsos agar terhindar dari jeratan hukum.
Dijelaskannya, medsos merupakan salah satu transaksi digital yang penggunaannya telah diatur dalam UU ITE No. 11/2008 dan UU ITE No. 19/2016. “Pada Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE No. 11/2008 disebutkan secara rinci apa saja yang dilarang dilakukan saat berkomunikasi melalui media digital,” terang Hatmoko.
Selain itu, kata Hatmoko, juga diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 73/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.
Menurutnya, UU No. 19/2016 sebagai Perubahan Atas UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), telah mengatur norma di ruang digital agar setiap warga merasa aman dan terlindungi.
“Yang perlu diwaspadai bahwa peserta didik Madrasah Tsanawiyah kita adalah masuk pada usia remaja di usia yang secara psikologi mengalami perkembangan. Satu sisi, mereka masih memperlihatkan kedekatan serta ketergantungan kepada orangtua. Tapi di sisi lain, mereka membuat kelompok bersama teman-teman terdekat, dan mulai mencari identitas diri dan memperlihatkan kemandirian,” tuturnya.
Lalu, bagaimana cara agar anak kita cerdas beretika secara digital? kata Hatmoko, dunia anak terbagi menjadi 3, yaitu di madrasah atau sekolah sekitar 5 sampai 8 jam setiap hari, di rumah atau dengan orang tua 8-10 jam, tetapi interaksi dikurangi dengan waktu istirahat, dan dunia pergaulan.
Berdasarkan pemaparannya itu, maka diperlukan ruang pendampingan dengan menghadirkan “guru” yang cakap digital, ruang kenyamanan emotional atau guru sahabat siswa/anak, menciptakan kegiatan yang memberikan siswa berkreasi, dan kontrol media digital anak.
Sementara, untuk melawan aksi bullying di sekolah, kata Hatmoko, guru harus bisa meningkatkan kesadaran dan kedewasaan beretika dalam dunia maya anak-anak didiknya, dengan menekankan perilaku yang baik, empati dan capaian prestasi bersama di sekolah.
“Guru dan staf sekolah juga harus dilatih bagaimana mengatasi bullying,” imbuhnya.
“Mensosialisasikan tentang bahaya perundungan di sekolah dan lingkungan bermain untuk para siswa, guru dan staf sekolah. Dan, menanamkan keberanian pada siswa melawan tindakan perundungan,” tambah Hatmoko.
Sementara itu, Muhammad Mustafid, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Aswaja Nusantara Mlangi mengatakan perkembangan teknologi digital yang sangat pesat memberikan tantangan tersendiri bagi kita semua.
“Muncul modus kejahatan baru dan regulasinya. Kita juga harus paham bagaimana melakukan pengamanan,” kata Mustafid.
Dia menyarankan, setelah melakukan pemetaan aset digital yang dimiliki, kita harus mengetahui apa saja risiko ancaman yang berpotensi dihadapi.
“Semakin banyak aset digital dan informasi pribadi yang tersedia di internet, pertimbangkan untuk semakin memperdalam praktik kebijakan keamanan pribadi yang terkait,” tuturnya.
Mustafid kemudian mencontohkan ancaman yang perlu diwaspadai, di antaranya penyadapan, peretasan web, Phising, Doxxing (pembeberan identitas pribadi ke publik), dan kriminalisasi atau Smear Campaign.
Kata Mustafid, tidak ada yang aman 100 persen di dunia digital. Yang bisa kita lakukan adalah mengurangi risikonya sedapat mungkin. Katanya lagi, keamanan berbanding terbalik dengan kemudahan, sedikit ribet dan waspada akan membuat kita lebih aman di dunia digital. Selain itu, kita harus selalu berpikir kritis, tidak mudah percaya dengan semua yang kita dapat di internet
Pembicara lainnya, Zahid Asmara dari Kaliopak Digital mengatakan, kita harus menjadikan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan kecakapan digital.
“Mewujudkan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai panduan karakter dalam beraktivitas di ruang digital,” kata Zahid.
Menurut dia, kita dapat mengaplikasikan budaya luhur bangsa, falsafah Pancasila dalam bermedia, baik dalam berbudi, berdaya, berpekerti, berekspresi dengan memahami betul lanskap, nilai, dan pola baik secara harfiah/maknawi maupun substantif, teknis atas cyberculture.
Kata Mustafid, setiap generasi mempunyai ragam dan cara dalam berekspresi, mengaktualisasi diri, mengukir prestasi hingga mengejawantah nilai-nilai luhur bangsaa yang tak lepas dari proses tumbuh kembang karya, diri maupun dunianya. Namun, dibutuhkan kolaborasi dan saling sinergi nyata baik antar generasi ataupun profesi yang tak sekedar gimmick pribadi apalagi jargon politis.
Sebagai informasi, berdasarkan survei Indeks Literasi Digital Nasional Indonesia yang diselenggarakan Kemenkominfo dan Katadata Insight Center pada 2021 disebutkan bahwa Indonesia masih berada dalam kategori ‘Sedang’ dengan angka 3.54 dari 5,00.
Dan, perlu diketahui, Kemenkominfo bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia menggelar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD), salah satu programnya adalah #MakinCakapDigital.
Informasi mengenai literasi digital dan info kegiatan dapat diakses melalui website info.literasidigital.id, media sosial Instagram @literasidigitalkominfo, Facebook Page, dan Kanal YouTube Literasi Digital Kominfo.