APBD DKI dan Utang ke BUMN Mencapai Sekitar Rp 555 Triliun: Pentingnya Opsi Obligasi Daerah

Penulis: Pengamat Kebijakan Publik Sugiyanto

Jakarta, Nusantarapos.co.id – Dalam periode anggaran 2018 hingga 2024, totol Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta dan utang kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diperkirakan akan mencapai total sekitar Rp 555,96 triliun. Perkiraan APBD dan utang ini didasarkan pada data APBD-P tahun 2018 hingga APBD-P tahun 2021, APBD murni tahun 2022, dan APBD-P tahun 2023, serta perkiraan APBD tahun 2024.

Rinciannya sebagai berikut: APBD-P 2018 sekitar Rp 83,26 triliun, APBD-P 2019 sekitar Rp 86,89 triliun, APBD-P 2020 sekitar Rp 63,23 triliun, APBD-P 2021 sekitar Rp 79,89 triliun, dan APBD murni tahun 2022 mencapai Rp 82,47 triliun. Selanjutnya, APBD-P tahun 2023 sekitar Rp 78,72 triliun, dan perkiraan APBD tahun 2024 mencapai Rp 81,5 triliun. Dengan demikian, total APBD DKI dari tahun 2018 hingga 2024 diperkirakan mencapai Rp 555,96 triliun.

Penting untuk dicatat bahwa jumlah perkiraan APBD DKI Jakarta sebesar Rp 555,96 triliun sudah termasuk dalam utang kepada BUMN. Pada tahun 2020 dan 2021, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus meminjam dari BUMN melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebesar Rp 12,5 triliun. Sementara pada tahun 2024, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta telah menyetujui peminjaman kepada BUMN sebesar Rp 1 triliun untuk mendukung proyek Pengelolaan Sampah Refuse Derived Fuel (RDF).

Situasi ini menyoroti fakta bahwa meskipun APBD DKI Jakarta mencapai angka yang signifikan, provinsi khusus Ibukota ini tetap perlu mengambil pinjaman dari BUMN untuk mendukung berbagai program pembangunan. Ini menunjukkan bahwa anggaran yang besar tersebut belum cukup untuk membiayai semua kebutuhan pembangunan di Jakarta.

Pandemi Covid-19 juga telah membuktikan bahwa APBD DKI Jakarta yang besar itu masih sangat terbatas dalam mengatasi situasi darurat. Anggaran yang ada tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pembangunan di DKI Jakarta, sehingga peminjaman sebesar Rp 12,5 triliun pada tahun 2020-2021. Utang ini diperlukan untuk melanjutkan pembangunan di berbagai sektor, termasuk proyek infrastruktur seperti penyelesaian stadion sepak bola Jakarta Internasional Stadium (JIS).

Dengan demikian wajar muncul pertanyaan dimasyarakat, mengapa DKI Jakarta, yang memiliki anggaran yang cukup besar, harus berutang sebanyak Rp 12,5 triliun pada tahun 2020-2021 dan Rp 1 triliun pada APBD 2024?

Dalam konteks ini DPRD DKI Jakarta seharusnya memperkuat fungsi Dewan, yaitu, legislasi, penganggaran, dan penganggaran. Dari sisi legislasi, Dewan harus membuat aturan yang mendukung peningkatan pendapatan daerah. DPRD DKI Jakarta juga harus melakukan evaluasi menyeluruh, termasuk pemeriksaan ketat terhadap penggunaan anggaran dan penghapusan pengeluaran yang dianggap tidak penting sebelum mempertimbangkan opsi berutang.

Saatnya DKI Jakarta Menjalankan Kebijakan Obligasi Daerah di Jakarta

Kebijakan mengenai obligasi daerah pertama kali diumumkan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo (Foke), saat ia terpilih sebagai Gubernur pada tahun 2007. Pada waktu itu, Foke menyatakan bahwa pada tahun 2008, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan akan menerbitkan obligasi.

Gubernur DKI Jakarta yang lainnya juga berkeinginan menjalankan kebijakan obligasi daerah. Namun, rencana tersebut tidak terealisasi. Sampai saat ini Pemprov DKI Jakarta gagal menjalankan kebijakan obligasi daerah.

Kegagalan dalam mewujudkan kebijakan obligasi daerah disebabkan oleh seringnya perbedaan pandangan antara Gubernur dan DPRD DKI Jakarta. Hal ini menyebabkan timbulnya pro dan kontra di masyarakat, sementara tujuan utama dari obligasi adalah untuk mempercepat pembangunan Kota Jakarta.

Selain itu, terdapat juga sikap arogansi dari pihak-pihak yang menentang obligasi, dengan menganggap bahwa Jakarta tidak memerlukan obligasi APBD DKI Jakarta sudah mencukupi bahkan melebihi kebutuhan pembiayaan daerah. Semua alasan ini menunjukkan bahwa pemahaman yang komprehensif tentang obligasi daerah belum sepenuhnya tersosialisasi di masyarakat.

Padahal, meskipun APBD Jakarta surplus, untuk mewujudkan visi Jakarta sebagai kota besar yang setara dengan kota-kota besar di dunia, diperlukan dana yang signifikan. APBD DKI Jakarta saja tidak akan mencukupi untuk mempercepat pembangunan dan kemajuan Kota Jakarta. Saat ini, arogansi yang menyatakan bahwa DKI Jakarta tak butuh utang atau obligasi sudah tak berlaku lagi. Faktanya, Pemprov DKI Jakarta harus berutang dari BUMN demi mendukung pembangunan dan proyek di DKI Jakarta.

Sejatinya obligasi daerah bukanlah satu-satunya skema pembiayaan yang ada, tetapi memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan opsi lain, seperti melalui Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD), atau melalui PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI).

Dalam skema obligasi daerah, masyarakat dapat berpartisipasi sebagai investor. Dengan cara ini, baik pemerintah daerah maupun masyarakat dapat bersama-sama berkontribusi dalam pembangunan dan mendapatkan manfaat dari penerbitan obligasi daerah, yang pada akhirnya akan memajukan perkembangan daerah.

Selain itu, ini juga menjadi ukuran kesiapan daerah dalam membuka diri terhadap investasi dari dalam dan luar negeri, yang akan memperkuat kepercayaan dalam dan luar negeri terhadap daerah.

Saat ini, pemerintah pusat sangat mendukung kebijakan obligasi daerah dan telah melakukan perubahan aturan untuk memudahkan penerbitan obligasi daerah. Semua persyaratan dan ketentuan sudah tersedia, dan Jakarta memenuhi syarat untuk menerbitkan obligasi.

Jakarta harus menjadi pelopor dalam mewujudkan kebijakan obligasi daerah. Di era kepemimpinan Pejabat (Pj) Gubernur Heru Budi Hartono, kebijakan obligasi daerah harus segera diimplementasikan. Imbas dari wabah Covid-19 dapat menjadi momentum untuk melaksanakan obligasi di Jakarta.

Saat ini adalah waktu yang tepat bagi Pejabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, untuk segera menerapkan kebijakan obligasi daerah di Provinsi DKI Jakarta. Jakarta harus menjadi pelopor dalam menerapkan kebijakan ini, meskipun masih ada kendala, termasuk dalam hal Sumber Daya Manusia (SDM). Namun, upaya ini lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa sama sekali.