OPINI  

M. Mujahid: Kemurahan Hati Seorang Pemimpin, Untungkan Siapa?

Pemerhati Wisata / BPPT
Oleh M. Mujahid.

Sebelum menata sebuah pemerintahan perlu adanya keterlibatan peran media. Tidak semudah apa yang di bayangkan karena banyaknya karakter manusia yang berbeda – beda dan harus disikapi oleh pemimpin sebagai bagian dari sebuah kebijakan. Kebijakan kebawah “Top Down”yang terukur sangat diperlukan. Mana yang menjadi tupoksi tugas media dan tugas Humas dimasing – masing intitusi maupun lembaga lainya dalam rangka mengawal Pemerintah. Pembagiannya harus jelas untuk informasi publik dan pemerataan materinya ke media sebagai bahan berita. Setelah itu baru pengembangan informasi adalah tugas awak media untuk menulis menjadi sebuah produk jurnalis yang resmi.

Tidak sulit menyampaian informasi kebijakanya ke publik, mana yang merupakan data, materi, iklan dan ucapan pemimpin yang harus diberitakan, mana yang berupa MedSos dan Mainstream harus dibedakan. Sehingga ada pembagian yang jelas karena media juga merupakan Jasa fihak ketiga dengan bentuk Perusahaan Pers. Baru langkah berikutnya penerapan tupoksi birokrasi diharapkan bisa berjalan seiring.

Manusia tidak ada yang sempurna, harus ada dosa, namun Istilah Jawa “ngono yo ngono tapi yo ojo ngono”, ( Gitu ya gitu, tapi ya jangan begitu) tidak bisa ditinggalkan. Melirik dari 7 (tuju) Sapta Pesona yang sudah lama menjadi Jargon Pariwisata, tentunya dapat digunakan penerapanya disemua sektor dengan pedoman; Keamanan, Ketertiban, Kebersihan, Keindahan, Kesejukan, Keramahan dan Kenangan. Tidak ada salahnya Pemimpin atau calon pemimpin mengadopsi panduan yang diambil dari itu.

Ketika seseorang mempunyai keinginan berhasil dalam memimpin tentu ujian tidak mudah. Diperlukanya keterlibatan Tiang Pancang “Stake Holder”di semua lintas komunitas yang tangguh, bisa saling memberi masukan yang baik ditengah ketidak jelasan sebuah kebijakan.
Kemurahan hati seorang pemimpin kadang membuat para pelaku usaha tidak sadar kalau ‘kekayaanya’ adalah akibat dari kebijakan itu. Lain lagi kalau pemimpin pakai tangan besi dalam menegakkan aturan.

Kalau di Pemerintahan ada Legeslatif, Eksekutif, Yudikatif bahkan Media menjadi alternatif penyeimbang ke empat yang dikenal dengan sebutan 4 (empat) Pilar Demokrasi. Tentu bisa dilihat bagaimana arah seorang pemimpin menjalankan peran Forkopimda sampai ketingkat Kecamatan yang dikendalikan Camat. Dari Camat sampai ketingkat Kelurahan atau Desa. Kalau Kades, Lurah sebagai ujung tombak, Ibarat Camat adalah sebagai Bupati kecil harus sigap, bertanggung jawab melayani masyarakat mencapai kesejahteraan dan memberi contoh yang baik untuk meminimalkan resiko dalam hal apapun. Semua belum terlambat selagi ada keinginan merubah, masyarakat butuh pemimpin yang merakyat. Justru manusia harus punya dosa untuk bahan menuju pengampunan dan perubahan.

Namun menyikapi kebijakan jangan sampai justru menimbulkan keresahan di masyarakat yang bisa memicu konflik. Dikhawatirlan, akan menjadi sebuah perlawanan dikemudian hari yaitu ‘Sistim dilawan sistim, Aturan dilawan aturan, Kebijakan dilawan dengan kebijakan juga’ yang belum tentu menguntungkan masyarakat. Akan berbahaya kalau pemimpin dan atau calon pemimpin berpedoman tidak peduli terhadap kritikan bahkan senang berhadapan menggunakan kekuasaan. Mengingat keberhasilan pemimpin tergantung masyarakat yang dipimpinya sejahtera atau tidak. Artinya Seorang pemimpin harus bisa responsip kepada rakyat, tidak boleh mengancam, menakut-nakuti, dalam giatnya dan setidaknya mengerti apa perbedaan Negara dan Pemerintah.