Terlalu Sering Main Medsos, Hati-hati Bisa Mengidap FOMO

Jawa Tengah, Nusantarapos.co.id –
Saat ini sedang terjadi fenomena FOMO (Fear of Missing out). Yaitu perasaan atau persepsi merasa cemas ketika ketinggalan tren atau info, sehingga menganggap orang lain menjalani hidup lebih baik daripada dirinya. Hal ini sering disebabkan unggahan di media sosial (medsos).

Menyikapi fenomena FOMO, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia menggelar diskusi “Fenomena FOMO/Kritis Terhadap Berita Viral” yang diselenggarakan secara daring, Selasa (28/3/2023). Kegiatan ini merupakan rangkaian dari program Gerakan Nasional Literasi Digital (LNGD).

Salah satu pembicara, Zainuddin Muda Z, mengatakan literasi digital adalah kunci menghadapi fenomena FOMO.

“Dengan literasi digital maka kita bisa meminimalkan konten negatif dan membanjiri ruang digital dengan konten positif,” kata Dosen Ilmu Komunikasi, Fisipol Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Dia mengutip pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan bahwa tantangan di ruang digital semakin besar. “Konten-konten negatit terus bermunculkan dan kejahatan di ruang digital terus meningkat,” ujarnya.

Zam, panggilan akrabnya, menyatakan sepakat dengan pernyataan Presiden Jokowi bahwa menjadi kewajiban bersama untuk meningkatkan kecakapan digital masyarakat melalui literasi digital.
Lalu dia menjelaskan definisi literasi digital yaitu sebagai kecakapan menggunakan internet dan media digital (dimensi teknologi).

“Tetapi tidak hanya mampu mengoperasikan berbagai perangkat digital, melainkan juga mampu bermedia digital dengan penuh tanggung jawab dan bermanfaat bagi diri sendiri juga orang banyak,” jelas Zainuddin.

Menurut Zainuddin, indikator seseorang dapat dikatakan cakap bermedia digital yaitu memiliki kemampuan mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak TIK, serta sistem operasi digital dalam kehidupan sehari-hari.

Kemudian, Zainuddin memaparkan siapa pelaku dan korban dari konten negatif atau hoax. Kata dia, korban hoax adalah orang-orang yang malas, tidak kritis, dan emosional. Sedangkan, pelaku penyebar berita bohong bisa siapa saja.

Zainuddin memaparkan gejala-gejala seseorang terkena FOMO yakni tidak bisa lepas dari medsos, berusaha selalu mengikuti tren, memaksakan diri membeli barang tertentu agar tidak ketinggalan zaman, sulit untuk menolak ajakan orang, dan keinginan untuk diakui di medsos.
Akibatnya, lanjut Zainuddin, seseorang yang “terpapar” FOMO akan resah dan takut bila jauh dari medsos walau hanya beberapa menit saja. Adapun yang orang yang rentan terkena FOMO adalah pengguna medsos seperti Instagram, Twitter, atau TikTok yang intens.

Zainuddin menyarankan untuk dapat mendetoksifikasi media sosial seseorang harus mematikan notifikasi medsos dan jauhkan ponsel saat melakukan aktivitas produktif.

“Batasi juga waktu penggunaan ponsel untuk medsos, jauhkan ponsel ketika sedang makan, dan langkah terakhir adalah hapus aplikasi dan akun medsos jika sudah tidak bisa dibendung lagi,” kata Zainuddin.

Selain itu, kata Zainuddin, sikap kritis diperlukan dalam melawan informasi palsu. Dia pun meminta masyarakat agar tidak mudah menyebarkan informasi palsu karena akan ada konsekuensi hukumnya.
“Bisa dijerat Pasal 28 Ayat (1) UU No. 11/2008 dengan hukuman 8 tahun penjara. Dan Pasal 45 Ayat (1) UU No. 19/2016 dengan pidana denda Rp1 miliar,” terangnya.

Pembicara lainnya, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah 1 Jawa Tengah Sunarto, S.Pd M.Pd mengatakan pengguna internet di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 210 juta penduduk, atau 77,02% dari total jumlah penduduk Indonesia yakni 272,7 juta. “210 juta pengguna itu tersebar dari berbagai usia dan latar belakang,” jelasnya.

Dia langsung memaparkan pengguna internet di Indonesia 77,64% menggunakan mobile seluler, Wifi di rumah 20,61%, Wifi publik 0,96%, dan Wifi kantor 0,61%.

Dia paparkan juga alasan masyarakat menggunakan internet yaitu 98,02% untuk bermedia sosial, 92,21% mencari informasi atau berita, 90,21% untuk pekerjaan, dan 84, 90% untuk mengakses layanan publik.

“80,70% untuk mengirim email, 79,00% transaksi online, 77,25% menonton konten Hiburan, 76,47% transportasi online, dan 72,32% layanan keuangan,” ungkap Sunarto.

Berdasarkan paparan di atas, Sunarto berkesimpulan agar menjadikan dunia digital sebagai tools solusi atas masalah kehidupan yang dihadapi, bukan dijadikan sebagai sumber masalah.
“Dalam beraktifitas di dunia digital, kita mesti mengimplementasikan sama seperti halnya beraktifitas dalam dunia nyata. Ambil manfaat dan hindari dampak negatif,” imbuhnya.

“Dunia digital merupakan ruang interaksi antar manusia, maka penting untuk setiap orang berkontribusi dalam membangun dan menjaga keamanannya,” sambung Sunarto.
Maka itu, kata dia, nilai-nilai Pancasila harus menjadi landasan perilaku setiap orang di ranah dunia maya. Masyarakat harus memperkuat kapabilitas digital dan membentuk ekosistem digital yng memadai sehingga budaya digital pun dapat bertransformasi dalam berbagai sendi kehidupan dengan baik.

Sementara itu, Founder neswa.id Rika Iffati Farihah mengatakan dalam ruang digital kita akan berinteraksi dan berkomunikasi dengan berbagai perbedaan kultural, karena itu diperlukan etika dalam berdigital. “Interaksi antar budaya dapat menciptakan standar baru tentang etika,” katanya.

“Dengan media digital setiap warganet berpartisipasi dalam berbagai hubungan dengan banyak orang melintasi geografis dan budaya. Mereka dengan berbagai cara membangun hubungan lebih jauh dan berkolaborasi dengan orang lain. Maka, segala aktivitas digital di ruang digital dan menggunakan media digital memerlukan etika digital,” tambahnya.

Kata Rika, etika digital itu mencakup kesadaran, integritas, tanggung jawab, dan kebajikan. “Kita harus selalu menyadari bahwa kita berinteraksi dengan manusia nyata di jaringan yang lain, bukan sekedar dengan deretan karakter huruf di layar monitor, namun dengan karakter manusia sesungguhnya,” ujar Rika.

Dia menyebutkan, di era teknologi digital seperti sekarang, mayoritas masyarakat Indonesia mendapatkan informasi dari media sosial.

Kesimpulannya, kata Rika, internel adalah anugerah, tetapi bisa menjadi bencana manakala teknologi mengendalikan manusia, tanpa jiwa-jiwa yang beretika.
Sebagai informasi, adapun informasi lebih lanjut mengenai literasi digital dan info kegiatan dapat diakses melalui website info.literasidigital.id, media sosial Instagram @literasidigitalkominfo, Facebook Page, dan Kanal YouTube Literasi Digital Kominfo.