Apa Benar Media Sosial Bikin Insecure? Nih Penjelasannya

Jawa Tengah, Nusantarapos.co.id –
Dewasa ini perkembangan teknologi informasi sangat pesat. Hampir semua lini peradaban terdigitalisasi. Hajat hidup manusia dari aspek sosial, ekonomi, budaya ditopang oleh perangkat digital. Kini seluruh manusia terhubung, informasi mengalir deras. Meski sisi manfaatnya besar bagi manusia, namun juga memberikan sisi negatif yang sampai saat ini masih menjadi persoalan yang belum terpecahkan, seperti ancaman kebocoran data pribadi, pelanggaran privasi, dan polarisasi sosial.

Misbachul Munir, Manager Program Kegiatan Pondok Pesantren Budaya Kaliopak Yogyakarta mengatakan, sisi negatif dan tantangan dunia digital yaitu terjadinya pendangkalan nilai spiritual dan religiusitas, eksistensi sebagai manusia yang memiliki akal budi dan daya cipta luhur, begitu pun solidaritas komunal, sikap kreatif ke konsumtif.

“Tantangan lainnya, dunia virtual sering dijadikan sebagai alat untuk menyebarkan informasi palsu (hoax) dan menyesatkan untuk kepentingan sepihak dan merugikan pihak yang lain baik secara personal, sosial, budaya, ekonomi dan politik,” kata Misbachul dalam diskusi virtual bertema “Apa Benar Media Sosial Bikin Insecure?” yang diadakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia, Kamis (6/4/2023).

Sedangkan dari sisi positifnya, lanjut Misbachul, media digital merupakan ruang di mana semua orang bisa bertukar informasi dan berkomunikasi dengan cepat dan dekat walaupun secara geografis berjauhan, sehingga terjadi pertemuan yang bermanfaat antar berbagai pandangan di segala bidang.

Berdasarkan paparannya di atas, Misbachul mengatakan, perlu menjadi individu yang cakap bermedia digital yang mampu mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan lunak dalam lanskap digital, mesin pencarian informasi, aplikasi percakapan dan media sosial, serta aplikasi dompet digital, lokapasar, dan transaksi digital.

“Misalnya, pahami kelebihan dan kekurangan media sosial. Kelebihan Facebook jumlah penggunanya terbanyak dibandingkan media sosial lainnya, tapi kekurangannya penggunanya terlalu heterogen sehingga informasi yang muncul terlalu beragam,” jelasnya.

Dia juga menyarankan agar kita dapat mengontrol dan mengendalikan pikiran dan tindakan kita saat bermedia digital. “Kesimpulannya, kita dapat mencapai kecakapan digital jika tahu dan paham ragam dan perangkat lunak yang menyusun lanskap digital,” ujarnya.

Selain itu, juga bisa mengoptimalkan penggunaan perangkat digital utamanya perangkat lunak sebagai fitur proteksi dari serangan siber. “Memiliki kemampuan mengetahui dan memahami cara mengakses macam-macam mesin pencarian informasi, mampu menyeleksi dan memverifikasi informasi yang didapatkan serta menggunakannya untuk kebaikan diri dan sesama, juga mengenal ekosistem transaksi daring dompet digital, lokapasar, serta transaksi digital dengan lebih baik, sehingga terhindar dari kegiatan terkait yang merugikan,” sambungnya.

Sementara itu, Dosen dan Ketua Prodi Ilmu Administrasi Publik FISIP UNPAR, Trisno Sakti Herwanto, S.I.P., MPA mengatakan, perkembangan teknologi informasi di dunia terus berkembang secara masif. Pengguna Internet Indonesia mencapai 202 juta pengguna.
Lanjutnya, perubahan gaya hidup menjadi serba digital yang menawarkan kemudahan dan kepraktisan dalam melakukan berbagai aktivitas. Bahkan, masyarakat semakin nyaman dan percaya dalam melakukan aktivitas keuangan digital yang sebelumnya dianggap berisiko tinggi. Namun begitu, kata Trisno, diperlukan pemahaman masyarakat terkait keamanan digital.

Dia menjelaskan, keamanan digital adalah sebuah proses untuk memastikan penggunaan layanan digital, baik secara daring maupun luring dapat dilakukan secara aman. Tidak hanya untuk mengamankan data yang kita miliki melainkan juga melindungi data pribadi yang bersifat rahasia.

Dia mencontohkan, meski percakapan pada aplikasi adalah ranah privat, tetap memungkinkan “bocor” ke ranah publik.
“Perlu disadari bahwa aplikasi percakapan seringkali dikombinasikan dan dilengkapi fitur media sosial,” tuturnya.

Karena itu, kata Trisno, kita harus membatasi share/berbagi informasi yang “perlu dan aman” serta “tidak perlu dan tidak aman” ke orang lain. Selain itu, dia mengimbau agar mewaspadai link atau tautan yang tidak wajib dibuka.
Trisno mengutip pernyataan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar menghindari penggunaan Wifi publik untuk bertransaksi keuangan elektronik dan belanja online.

“Rutin mengganti password dan tidak sembarangan memberikan OTP (One Time Password) kepada orang lain. Pemerintah melarang masyarakat mengakses layanan perbankan secara online dengan jaringan Wifi publik karena sangat rentan disusup peretas (hacker),” ucapnya.

Selain itu, gunakan password yang panjang dengan kombinasi karakter, seperti angka, huruf besar kecil, tanda baca dan simbol. “Jangan menggunakan password yang berhubungan dengan data pribadi dan urutan di keyboard, dan upayakan mengganti password secara berkala,” saran Trisno.

Pembicara lainnya, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah IV Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, Budi Santosa, S.Pd., M.Pd., M.Si mengatakan bahwa hak asasi manusia menjamin setiap warga negara untuk mengakses, menggunakan, membuat, dan menyebarluaskan media digital. Namun, ada tanggung jawab menjaga hak-hak atau reputasi orang lain, dan menjaga keamanan nasional, ketertiban masyarakat, atau kesehatan dan moral publik.

Maka dari itu diperlukan etika berkomunikasi digital dengan cara memahami lawan bicara, tidak bernuansa SARA, dan etis (tidak hoax, tidak bullying, dan tidak hate speech.
Menurut Budi Santoso, budaya bermedia digital merupakan kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan, nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari−hari.
“Menjadikan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai landasan kecakapan digital. Mewujudkan nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai panduan karakter dalam beraktivitas di ruang digital,” terangnya.

Budi mengingatkan, bahwa ada tantangan pada budaya digital yang dapat mengaburkan wawasan kebangsaan dan menghilangkan budaya Indonesia, juga dapat menipiskan sopan santun, serta menciptakan kebebasan berekspresi yang kebablasan.

Perlu diketahui, berdasarkan survei Indeks Literasi Digital Nasional Indonesia yang diselenggarakan Kemenkominfo dan Katadata Insight Center pada 2021 disebutkan bahwa Indonesia masih berada dalam kategori ‘Sedang’ dengan angka 3.54 dari 5,00.
Sebagai informasi, Kemenkominfo bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia menggelar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD), salah satu programnya adalah #MakinCakapDigital.

Informasi mengenai literasi digital dan info kegiatan dapat diakses melalui website info.literasidigital.id, media sosial Instagram @literasidigitalkominfo, Facebook Page, dan Kanal YouTube Literasi Digital Kominfo.