BERITA  

Kemen PPPA Terangkan Manfaat RUU KIA Dalam Fase Awal Seribu Hari Pertama Kehidupan

Media Talk "RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan Dorong Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak" di Kantor KemenPPPA

JAKARTA,NUSANTARAPOS, – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) berharap Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) akan mengatasi persoalan pada fase Seribu Hari Pertama Kehidupan dan pengasuhan anak.

RUU KIA akan mengatasi persoalan ketidakhadiran seorang ayah atau fatherless pada fase Seribu Hari Pertama Kehidupan dan pengasuhan anak.

Dian Ekawati, Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Bidang Kesetaraan Gender Kementerian PPPA mengatakan, Peran seorang ayah harus didorong dalam RUU KIA untuk mengatasi permasalahan mental orang tua terutama ibu dan isu fatherless.

Bertemakan “RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan Dorong Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak” daalam acara Media Talk di kantor Kemen PPPA Jakarta, Selasa sore (23/4/2024).

Lanjutnya, Ia pun tidak menginginkan ketidakhadiran seorang ayah dalam kehidupan anak menjadi sesuatu hal yang lumrah, sehingga hal ini perlu diatasi bersama. Kita tidak mau status fatherless country nempel di kita dan itu jadi hal yang biasa.

Menurut Dian Ekawati, peran suami ataupun seorang ayah sangatlah penting bagi istri serta anaknya, sehingga di dalam RUU KIA juga diatur tentang cuti ayah yang istrinya baru melahirkan maupun istri yang mengalami keguguran.

“Adanya cuti ayah diharapkan dapat memaksimalkan peran seorang ayah dalam mendampingi istrinya dan membentuk ikatan dengan anak,” ujarnya.

Dian Ekawati menyebut, RUU KIA juga diharapkan bisa mengatasi permasalahan mental orang tua seteleah memiliki anak, selama ini terdapat sejumlah kasus kesehatan mental ibu muda yang berdampak buruk pada anak.

Sambungnya, adanya ibu muda yang terganggu mentalnya karena faktor kejenuhan, banyak kasus baby po dari perusahaan yang berbeda pendapat soal cuti pendampingan ibu melahirkan paling lama 40 hari atau ibu yang mengalami keguguran paling lama 7 hari, serta cuti hamil dan melahirkan hingga enam bulan.

Dian Ekawati mengatakan, upaya pendekatan yang dilakukan pada perusahaan saat ini adalah dengan edukasi. Hal ini dimulai dengan memberikan pengertian pada para pekerja dan seluruh unsur perusahaan terkait pemenuhan hak perempuan.

“Kami berharap juga dimulai dari bapak ibu yang berada di suatu perusahaan untuk bisa mengedukasi dulu peers-nya ya, dengan para pekerja perempuan yang memang membutuhkan pemenuhan haknya,” ujarnya.

Kendati adanya kontroversi, Asdep Dian menekankan perlunya pembuktian empiris untuk mendukung kebijakan tersebut.

Menurutnya, pemberian cuti bagi perempuan dan ayah diharapkan dapat meningkatkan kualitas keluarga dan individu pekerja juga.

Harapannya, dengan adanya pemberian cuti ini kualitas keluarga meningkat kualitas perempuan sebagai individu juga meningkat, menghindari dari Baby blues dan juga peran dari suami juga akan lebih meningkat.

Dian pun menyoroti pentingnya jangka panjang dalam memberikan cuti, agar tidak terjadi gangguan yang tidak terduga.

“Tentunya di dalam jangka panjangnya cuti yang tetiba di tengah jalan itu tidak terjadi gitu, ya emang kualitas hidup anak dari sejak masih kandungan itu sudah sudah dibantu oleh kedua orang tuanya untuk diasuh hingga seribu hari nanti,” tuturnya.

Lebih lanjut, Asdep Dian menegaskan pemberian cuti juga dapat meningkatkan loyalitas karyawan dan produktivitas perusahaan.

Hasil itu tak bisa langsung dilihat perusahaan, karena prosesnya akan panjang, namun ke depannya diharapkan hal itu bisa membuat revenue perusahaan juga akan meningkat karena loyalitas pekerja tinggi.

Karena pekerjaannya tidak terlalu banyak yang mengambil cuti gitu ya, angka kesakitan juga menurun dan juga jika pekerjanya bahagia gitu produktivitas meningkat yang akan berangkat kerja dengan semangat.

“Hal ini yang mungkin bisa kami lakukan, bukan lah kami janjikan tapi akan kami coba edukasi dari arah itu,” pungkasnya. *(Guffe).