HUKUM  

Takut dan Ketidakpercayaan: Alasan Korban Enggan Laporkan Kasus Penyiksaan

JAKARTA, NUSANTARAPOS – Setidaknya ada dua faktor penting yang memengaruhi proses pengungkapan kasus penyiksaan di Indonesia. Pertama, ketakutan korban melaporkan peristiwa penyiksaan yang dialami karena pelaku adalah pejabat publik. Kedua, ketidakpercayaan korban terhadap proses hukum atas laporan penyiksaan yang disampaikan.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Maneger Nasution dalam konferensi pers memeringati Hari Anti Penyiksaan Internasional oleh Lima Lembaga Negara, yaitu LPSK, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, dan Ombudsman bertempat di kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Kamis (25/6/2020).

Maneger mengungkapkan, permohonan perlindungan pada kasus penyiksaan, angkanya memang tak sebanyak tindak pidana prioritas LPSK lainnya, seperti kekerasan seksual terhadap anak, perdagangan orang atau korupsi. “Tahun 2019, tercatat ada 11 permohonan dan pada 2020 (per Juni), tercatat ada 10 permohonan dari kasus penyiksaan,” ungkap dia.

Terhitung Juni 2020, lanjut Maneger, jumlah Terlindung LPSK dari tindak pidana penyiksaan berjumlah 9 orang, terdiri dari 8 dewasa dan 1 anak, dengan jenis kelamin 6 laki-laki dan 3 perempuan. Ke-9 terlindung LPSK dimaksud berasal dari lima kasus penyiksaan yang tersebar di Aceh, Jambi, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan.

Maneger menjelaskan, permohonan perlindungan pada kasus penyiksaan jumlahnya memang kecil. Namun, hal itu tentu tidak menggambarkan peristiwa penyiksaan sebenarnya yang terjadi di Indonesia. “Kenapa? Ada dua faktor. Ketakutan korban melapor karena harus berhadapan dengan pejabat publik, dan distrust terhadap proses hukum atas laporan mereka,” tegas dia.

Ketakutan korban melaporkan penyiksaan yang dialami, lanjut Maneger, dilatarbelakangi penyiksaan itu diduga dilakukan pejabat publik dan/atau lokasi kejadian berada di dalam bangunan atau wilayah institusi tertentu. Oleh sebab itu, akan sangat sulit mencari saksi yang mau memberikan keterangan atas peristiwa penyiksaan dimaksud.

Kalau pun korban melaporkan peristiwa penyiksaan yang dialami, masih kata Maneger, ada ketidakpercayaan dari korban jika laporannya itu akan diproses hukum. “Jika pun ada korban yang berani melaporkan penyiksaan yang dialami, mereka ragu (laporan) diproses. Sebab, proses hukum atas laporan itu biasanya dilakukan secara internal oleh institusi pejabat publik tersebut,” kata Maneger.

Maneger berpendapat, ketakutan melapor atau ketidakpercayaan akan proses hukum, seharusnya bisa dikikis. Apalagi, negara sudah membentuk LPSK yang tugasnya memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan/atau korban, termasuk pada tindak penyiksaan. “Apalagi, penyiksaan merupakan salah satu tindak pidana prioritas di LPSK,” tegas dia.

Selain itu, sambung Maneger, kehadiran LPSK, secara filosofis untuk membangkitkan keberanian dan kepedulian masyarakat sipil untuk melaporkan suatu tindak pidana dialami ataupun diketahuinya. Undang-undang menugaskan LPSK untuk memberikan perlindungan dan bantuan bagi saksi dan/atau korban sehingga proses peradilan pidana bisa berjalan sesuai hukum.

Dengan adanya LPSK, saksi dan/atau korban diharapkan mampu memberikan keterangan dan kesaksian dalam proses peradilan pidana secara aman dan nyaman sesuai dengan yang mereka ketahui. Dengan demikian, hukum bisa ditegakkan dan korban bisa mengakses keadilan. (Rilis)