OPINI  

Pemilu Coblos Partai, Siapa Untung dan Buntung?

Penulis Pengamat Kebijakan Publik Sugiyanto

Jakarta, Nusantarapos.co.id – Pada tahun 2008, masyarakat menggugat Undang-Undang (UU) Pemilu No. 10 Tahun 2008. Lalu Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi pasal-pasal tentang sistem proposional tertutup. Berdasarkan putusan MK No 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008, penetapan caleg pada pemilu 2009 mengunakan sistem proposional terbuka. Penentuan caleg terpilih berbasis perolehan suara terbanyak.

Saat ini masyarakat sedang menggugat kembali aturan pemilu sistem proposional terbuka tersebut. Materi pasal-pasal dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yakni tentang sistem pemilu proporsional terbuka diuji MK. Aturan ini dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Batu uji sistem proposional terbuka atau suara terbanyak adalah UUD 1945 Pasal 22E ayat (3), yakni, ‘Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.*** )’.

Pemohon menginginkan pemilu 2024 mengunakan sistem proposional daftar calon tertutup. Dengan sistem proposional tertutup, maka tak ada coblos caleg melainkan hanya coblos partai.

Kemudian, bila MK mengabulkan uji materi UU Pemilu tersebut, maka pada pemilu 2024 hanya coblos partai, tak ada coblos caleg. Bila hal ini terjadi, siapa yang akan untung dan buntung atau mengalami rugi?!

Jawabnya boleh jadi sistem proposional tertutup akan lebih menguntungkan untuk para elite patai. Caleg jadi ditentukan oleh elit partai dengan nomor urut kecil.

Sistem pemilu proposional tertutup juga dapat dianggap membonsai hak demokrasi rakyat. Artinya, rakyat yang akan buntung atau menanggung rugi karena tak dapat memilih langsung caleg pilihannya.

Selain alasannya tersebut, masih ada alasan lain. Setidaknya masih ada 7 (tujuh) alasan lainnya yang bisa dijadikan dasar argumentasi tentang untung, buntung atau rugi dari sistem proposional daftar calon tertutup.

Alasan untung pertama dari system profesional tertutup karena dianggap demi menegakan aturan konstitusi, yakni peserta pemilu adalah partai politik, bukan caleg. Sehingga yang dicoblos atau dipilih adalah partai bukan caleg. Alasan untung kedua adalah dapat meminimalisir caleg-caleg pragmatis, caleg kutu lompat, yang bukan kader partai. Sistem kepartaian juga dianggap akan bisa lebih kuat dan profesional.

Alasan untung ketiga yakni menihilkan praktik politik uang (money politik) yang dilakukan oleh caleg untuk mendapat suara dari masyarakat. Alasan untung keempat yakni, dapat menghilangkan kompetisi tidak sehat antar caleg. Caleg-caleg nakal dianggap kerap melakukan kecurangan pembelian suara pada panitia penyelenggara pemilihan.

Alasan untung keenam dari system proposional tertutup yakni, dapat membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil. Dan terakhir, alasan untung ketujuh dari sistem proposional tertutup yaitu, dianggap dapat menekan biaya pemilu dari APBN. Biaya percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD akan bisa jauh lebih murah dibandingkan dengan surat suara pemilu coblos caleg.

Sedangkan 7 (tujuh) alasan buntung atau rugi lainnya bagi rakyat dari sistem proporsional tertutup yakni, pertama rakyat tak bisa lagi bertemu caleg-caleg yang turun pada daerah pemilihan (dapil). Sehingga rakyat tak bisa mengetahui visi-misi dan tujuan seseorang aleg maju menjadi calon anggota legislatif.

Alasan buntung atau rugi kedua yaitu, rakyat tak bisa mengetahui komitment caleg yang telah jelas bekerja nyata di parlemen dan maju lagi sebagai pertahanan. Alasan buntung atau rugi ketiga dari sistem profesional tertutup yakni, rakyat tak bisa mengenal dengan baik caleg-caleg partai yang ada.

Alasan buntung atau rugi keempat dari system profesional tertutup yaitu, rakyat tak bisa menguji caleg-caleg yang berkualitas, termasuk menolak caleg, seperti caleg mantan narapidana, caleg eks koruptor dan caleg-caleg bermasalah lainnya. Alasan buntung atau rugi kelima yaitu, rakyat tak bisa mengetahui lagi caleg-caleg muda yang memiliki komitmen antikorupsi.

Alasan buntung atau rugi keenam dari sistem proposional tertutup yakni, rakyat akan mengalami kemunduran demokrasi. Sebab sejatinya demokrasi adalah tentang kedaulatan berada ditangan rakyat. Artinya rakyat lah yang harus menentukan caleg terpilih berdasarkan hasil pemilihan suara terbanyak.

Alasan buntung atau rugi ketujuh dari system proposional tertutup yakni, rakyat akan hilang kepercayaan kepada MK. Rakyat memahami bahwa prinsip hukum keputusan MK adalah final dan mengikat. Artinya keputusan MK tentang sistem proposional terbuka tak bisa lagi berubah. Bila MK menyetujui, mengembalikan sistem pemilu proposional tertutup, maka rakyat menilai MK tidak konsisten atas keputusannya sendiri.

Terkait sistem proposional terbuka yang sedang diuji nya MK, maka Ketua KPU Hasyim Asy’ari telah mengatakan ada kemungkinan Pemilu 2024 kembali ke sistem proporsional tertutup. Pernyataan Ketua KPU Hasyim Asy’ari ini seolah-menjadi pertanda tentang kemungkinan akan berlaku kembali aturan sistem proposional tertutup.

Lantaran pernyataan itu diucapkan oleh Ketua KPU Hasim Asy’ari, maka hendaknya partai politik segera menyatakan penolakan tentang kemungkinan digunakan kembali sistem pemilu proposional tertutup. Tujuannya tentu untuk menegakan dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi untuk kepentingan rakyat.

Untuk partai politik yang mendukung sistem proposional tertutup atau pemilu coblos atau pilih partai (bukan coblos caleg), maka rakyat bisa menandai partai politik itu.

Selanjutnya, berdasarkan prinsip demokrasi, yakni kedaulatan ada ditangan rakyat, maka rakyat bisa menghukum partai politik yang mendukung sistem pemilu proposional tertutup.

Cara menghukumnya yaitu dengan tak memilih partai politik pendukung sistem pemilu proposional tertutup. Kemudian, rakyat bisa mengalihkan dukungan dengan memilih partai politik yang konsisten mendukung sistem pemilu proposional terbuka, yakni penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak pilihan rakyat.

Ingat! Pemilu itu adalah tentang kedaulan rakyat. Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan, “Vox Populi Vox Dei”.