PKPM Mikro Tak Optimal, Mendagri Sampai Presiden Tegur Keras Herman Deru.

JAKARTA,NUSANTARAPOS,-Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menilai Sumatera Selatan tidak memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat berbasis mikro secara optimal. Akibatnya, angka penularan dan angka kematian di Sumsel meningkat pesat bahkan melampaui persentase nasional. Pemerintah daerah diminta untuk serius menerapkan PPKM berbasis mikro terutama mendekati Idul Fitri.

“Saya menilai belum ada PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat) di Sumatera Selatan,” ucap Menteri Dalam Negeri Prof. Tito Karnavian kala mengunjungi Palembang, Sumatera Selatan, Minggu (2/5/2021) seperti di lansir Kompas.

Menurut Tito, Hal ini terlihat dari aktivitas masyarakat di Kota Palembang yang tidak menerapkan protokol kesehatan dengan benar.

Di Palembang, kafe dan restoran masih tetap buka hingga lebih pukul 22.00 WIB, pasar masih ramai dan warga berkerumun di situ. Bahkan, masih banyak acara pernikahan yang tamunya tidak memakai masker.  “Padahal di kota-kota lain seperti Jakarta atau Bandung, tidak ada lagi restoran yang buka di atas pukul 22.00 WIB,” ucapnya.

Situasi ini terjadi karena tidak adanya koordinasi antarinstansi terkait sehingga tidak tercipta konsep penanganan pandemi  yang tegas. “Tidak ada skenario siapa berbuat apa sehingga semua kegiatan berjalan secara auto pilot,” ucap Tito. Padahal koordinasi antara instansi seperti Pemda, TNI/Polri, organisasi dan tokoh masyarakat sangat diperlukan agar pelaksanaan PPKM bisa optimal mulai dari tingkat provinsi hingga ke tingkat rukun tetangga.

Tidak optimalnya PPKM berbasis mikro di Sumatera Selatan itu berdampak pada buruknya performa Sumatera Selatan dalam penanganan pandemi. Ini terlihat dari empat indikator pandemi di Sumsel yang sebagian besar menunjukan tren negatif.

Tingkat kesembuhan misalnya, Sumsel hanya mencatatkan tingkat kesembuhan sekitar 87,7 persen, lebih rendah dibanding angka nasional sekitar 91,3 persen. Sementara angka kematian sekitar 4,7 persen lebih tinggi dibanding nasional sekitar 2,7 persen.

Adapun dari 1.600 tempat tidur yang tersedia di Sumsel, sekitar 59 persen diantaranya, sudah terisi oleh pasien Covid-19. Angka ini jauh lebih tinggi dari sebagian besar wilayah di Indonesia yakni di bawah 30 persen. “Ini menandakan kurangnya pencegahan sehingga banyak yang tertular,” ucap Tito.

Bahkan untuk di Palembang tingkat keterisian tempat tidur mencapai 65 persen atau mendekati standar maksimal yakni 70 persen. “Sumsel sudah lampu kuning dan ini perlu menjadi perhatian.” ucap Tito.

Masalah ini juga sempat diutarakan Presiden Joko Widodo ketika menggelar rapat penanganan Covid-19 bersama seluruh kepala daerah di  Indonesia, Rabu (28/4/2021). “Saya kaget ketika Sumsel menjadi rangking satu untuk tingkat penularan tertinggi dan  keterisian tempat tidur. Sebagai putra daerah adalah kewajiban saya untuk menyampaikan hal ini,” ujar Tito.

Kondisi ini harus segera diantisipasi dengan langkah pendisiplinan yang ketat  dalam melaksanakan PPKM berbasis mikro secara lebih optimal. Misalnya, untuk kegiatan di restoran atau di kafe harus dibatasi. Keterisian maksimal hanya 50 persen dari kapasitas dan tidak boleh beroperasi di atas pukul 22.00 WIB ,

Kegiatan keagamaan atau acara lain harus dibatasi tidak boleh lebih dari 50 persen dari kapasitas ruangan. Jika hal itu dibiarkan maka dapat mengundang kerumunan. “Jika ada yang melanggar segera tindak tegas, baik peringatan, kalau perlu diberikan tindak pidana ringan (tipiring),” ujar Tito.

Dalam pelaksanaannya, lanjut Tito, perlu keterlibatan semua pihak bahkan hingga ke tingkat rukun tetangga. Sumsel perlu berkaca dari beberapa daerah seperti Sulawesi Selatan yang mampu menekan covid-19 dengan angka kematian 1,9 persen dan tingkat kesembuhan mencapai 97 persen atau Bali yang melibatkan para pecalang dalam melaksanakan PPKM berbasis mikro. Mereka bertugas mendeteksi para pendatang dan melakukan karantina jika ada yang positif atau belum melakukan tes.

Selain itu juga Nusa Tenggara Barat yang setiap desanya sudah menerapkan PPKM berbasis mikro dengan menyediakan ruang karantina dan juga pusat pelayanan kesehatan. “Saya harap Sumsel bisa melihat penanganan yang sudah dilakukan di daerah-daerah lain,” ucapnya.

Sementara itu Pimpinan Wilayah (PW) Pemuda Mislimin Indonesia (Pemuda Muslim) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) menilai langkah Gubernur Sumsel Herman Deru yang membolehkan warganya mudik antardaerah di Sumsel sebagai tindakan yang tidak menghargai pemerintah pusat.

“Ini tentu kebijakan yang tidak menghargai dan tidak taat terhadap larangan mudik yang telah ditetapkan secara resmi oleh pemerintah pusat. Harusnya semua pihak, apalagi Kepala Daerah memberi teladan dalam hal kepatuhan terhadap larangan mudik ini,” ujar Ketua PW Pemuda Muslim Sumsel, Harda Belly dalam keterangannya, Senin, Minggu (2/5/2021).

Pemerintah pusat dengan larangan mudiknya, kata Harda, sedang berupaya keras agar penyebaran wabah COVID-19 tidak semakin luas serta program vaksinasi yang sedang berjalan bisa berhasil.

“Harusnya Pak Gubernur memahami alasan pemerintah pusat kenapa sampai mudik dilarang, sehingga tidak terkesan asal dalam membuat keputusan,” tambanya.

Lebih lanjut, Harda prihatin dan khawatir dengan dibolehkannya mudik antardaerah di Sumsel oleh Gubernur. Karena, jelas Harda, provinsi Sumsel juga tergolong belum berhasil menangani pandemi COVID-19.

“Kenapa belum berhasil, hal itu bisa dijelaskan dengan fakta bahwa angka kematian di Sumsel masih tergolong tinggi seperti yang disampaikan Pak Mendagri beberapa waktu lalu, yakni fatality rate-nya 4,21 persen dan bahkan data kemenkes per 30 Maret 2021 menunjukkan Sumsel sebagai provinsi yang berada pada ranking nomor 3 tertinggi angka kematian disebabkan COVID-19,” ungkap Harda.

“Pak Mendagri juga berpandangan bahwa penerapan 3T di Sumsel ini lamban. Jadi sebaiknya Pak Gubernur lebih hati-hati lagi dalam membuat keputusan, karena ini taruhannya adalah kesehatan dan bahkan nyawa masyarakat” tutupnya.

Sebelumnya, Gubernur Sumsel, Herman Deru membolehkan warganya mudik Lebaran 2021. Namun mudik tersebut hanya berlaku di wilayah Sumsel.

“Mudik Lebaran yang dimaksud adalah apabila masyarakat melakukan aktivitas mudik antar-kabupaten dan kota dalam Provinsi Sumsel sendiri. Saya kan hanya mengatur wilayah Sumsel, kita tidak mengatur Jakarta, Papua, Kalimantan, dan sebagainya,” kata Herman Deru kepada wartawan, Selasa (30/3).

“Mudik kalau kita analogikan adalah perjalanan antar-kabupaten dan kota dalam provinsi. Contohnya warga Palembang ingin mudik ke Baturaja. Boleh saja dan tidak dilarang,” sambungnya.(MARS)