HUKUM  

Tiga Alasan Inilah Mengapa Harus Menolak RUU KPK

Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Menurut pengamat hukum C Suhadi, ada tiga alasan mendasar masyarakat harus menolak revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Antara lain jika akhirnya revisi dilakukan untuk mengubah tidak adanya kebijakan SP3 menjadi ada, mengatur ulang kewenangan penyadapan, dan batasan nilai kasus korupsi yang ditangani KPK harus di atas Rp 1 miliar.

Ia menilai, kekhususan KPK yang tak bisa melakukan SP3 terhadap suatu kasus dugaan korupsi, karena adanya bukti kuat.

“Sebelum suatu perkara itu ditentukan status tersangkanya, KPK terlebih dahulu melakukan penyelidikan terlebih dahulu. Jadi tidak gegabah langsung mentersangkakan seseorang, kecuali tertangkap tangan,” ujar Suhadi dalam keterangan tertulis, Senin (10/9/2019).

Penyelidikan yang dilakukan KPK, kata dia dalam rangka mengkaji secara mendalam benar tidaknya suatu perkara yang akan disidik, memiliki unsur tindak pidana. Kalau tidak ada, KPK tak melanjutkan perkara. Mekanisme ini dianggap berbeda dengan lembaga penegak hukum lain yang harus menerima laporan dari masyarakat.

“Artinya dengan telah ditetapkan sebagai tersangka, maka unsur pidananya sudah terpenuhi. Nah kalau masih ada SP3 menurut saya itu dagelan DPR, atau mungkin DPR tidak mengerti hukum acara yang sudah diatur sedemikian rupa di sistem kerja KPK. Mereka ini punya rambu-rambu apakah itu di penyelidikan maupun di penyidikan. Kalau ada SP3 miris,” tutur Suhadi.

Mengenai penyadapan, Suhadi memandang hal itu tak perlu diatur lebih jauh. Apalagi sampai membatasi aktivitas penyadapan penyidik KPK, dengan menyerahkan kewenangan itu kepada lembaga lain, atau berdasarkan keputusan institusi di luar KPK.

“Tentu akan kacau, kebebasan kerja KPK sudah pasti tidak maksimal, karena ada pihak lain yang mengatur atau cawe-cawe yang selama ini menjadi independensi KPK,” tuturnya.

“Belum lagi nilai kebocoran dari orang yang sedang dipantau, karena sangat tidak bisa menjamin orang-orang (pemilik kewenangan penyadapan di luar KPK) tersebut mempunyai agenda lain. Sehingga lambat atau cepat lembaga ini tidak bergigi lagi sebagai lembaga antirasuah, lucu kan?” imbuh Suhadi.

Sementara mengenai KPK hanya menangani kasus korupsi di atas Rp 1 miliar, menurut dia gagasan itu juga tak tepat. Pasalnya, terkadang KPK hanya memiliki informasi terbatas, sehingga hanya menjerat pelaku korupsi ratusan juta atau di bawah Rp 1 miliar. Namun, imbuh dia, tak jarang pula dari kasus yang dianggap ‘receh’ itu, terkait aktivitas korupsi dengan nilai kerugian negara yang jauh lebih besar.

“Jadi kalau DPR tidak mengerti bagaimana membuat UU, ya sebaiknya duduk saja di sana sampai akhir masa jabatan,” selorohnya.

Lebih lanjut, apabila alasan perubahan UU KPK dilakukan karena adanya kelompok tertentu di internal yang menyalahgunakan kekuasaan, Suhadi menyarankan agar orang-orang tersebut yang diganti, bukan malah merusak KPK.

“Jangan rumahnya yang diganti namun orang-orangnya yang harus dibenahi. Terkait kabar adanya ‘polisi Taliban’ dan ‘polisi India’ dalam tubuh KPK, maka untuk membenahinya dukung calon dari KPK, supaya persoalan ini dapat diatasi,” paparnya.

“Dan saya sebagai relawan (pendukung Jokowi-Ma’ruf) meminta kepada Presiden (Jokowi) hati-hati dengan istilah ‘revisi’, ini semacam bom waktu buat Presiden. Kalau hasil revisi bagus maka tidak akan menimbulkan masalah. Tapi kalau hasil revisi melemahkan KPK, saya yakin yang paling banyak disalahkan adalah Presiden, bukan DPR,” tambah advokat senior.