DESA  

Anggaran Samisade TA 2022 di Kabupaten Bogor Jadi Sorotan Publik

Program Samisade Kabupaten Bogor (Kominfo Bogor)

CIBINONG,NUSANTARAPOS,-Program Satu Milyar Satu Desa (Samisade) yang di konsep Pemerintah Kabupaten Bogor untuk membangun Desa melalui perencanaan dengan adanya musyawarah melibatkan tokoh masyarakat, RT, RW, untuk kebutuhan mana yang harus dibangun.

Namun program Satu Milyar Satu Desa (Samisade) menjadi sorotan banyak pihak, seperti halnya salah satu Kepala Desa Tonjong Kecamatan Tajurhalang Kabupaten Bogor dilaporkan warga ke penegak hukum akibat proyek Samisade tidak terealisasi yang dibiayai dari APBD Kabupaten Bogor tahap kedua yang sudah dikucurkan sejak tanggal 26 Desember 2022.

Disisi lainnya rusaknya jalan Cipicung Desa Kutamekar Kecamatan Cariu kabupaten Bogor perlu penanganan serius baik dengan perbaikan atau peningkatan jalan, sehingga tidak terkesan ada pembiaran di masyarakat.

Berdasarkan informasi yang dihimpun wartawan, Rabu (01/03/23) pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Yusfitriadi, mengungkapkan bahwa sejak awal dana Samisade mempunyai potensi kerawanan. “Kerawanan tersebut mengarah kepada perilaku koruptif. Sehingga berpotensi merugikan keuangan Negara yang tidak kecil jumlahnya,” ujarnya kepada Wartawan, pada Senin (27/02/2023).

Lanjut ia, Potensi kerawanan tersebut, bisa berbentuk penyalahgunaan anggaran, kebocoran anggaran bahkan penggunaanya tidak sesuai dengan spesifikasi, sehingga terjadi mark up anggaran. “Berapapun dana dan dari sumber manapun digelontorkan ke desa maka tidak akan signifikan terhadap pengembangan dan pertumbuhan desa jika pengelolaan keuangan tersebut tidak benar,” ujarnya.

Ia menambahkan, ada beberapa hal yang menjadi faktor sehingga terjadi malpraktek dalam pemanfaatan dana yang berbasis di desa, diantaranya perencanaan yang tidak sesuai dengan kebutuhan desa. “Fenomena penyeragaman perencanaan dalam penggunaan anggaran pemerintah seringkali terjadi. Karena ada pihak-pihak yang tidak mau diribetkan dengan soal pelaksanaan dan pelaporan anggaran tersebut,” ujarnya.

Masih di katakan Yusfitriadi, Sehingga dengan keseragaman perencanaan akan sangat mempermudah pelaksanaan program dan audit laporan keuangan. Namun jauh dari prinsip kebutuhan desa tersebut. Lalu sumberdaya manajemen keuangan yang lemah. “Baik dana desa, maupun samisade programnya sudah siap bergulir, bahkan sudah terlaksana, sementara instrumen sumberdaya yang mampu mengelola secara baik belum disiapkan,” ujarnya.

Dirinya menambahkan, “Baik sumberdaya pengelola program maupun sumberdaya pengelola keuangan. Misalnya ketika program tersebut pelaksanaannya bersifat swakelola, apakah di tingkat desa sudah disiapkan, termasuk pengelola keuangannya, seperti akuntan, tenaga teknis pengelolaan keuangan yang berbasis digital,” ujarnya.

Karena, jika tidak berbasis digital akan berpotensi besar untuk keliru. Terlebih, dalam konteks dana desa, sangat mungkin menjadi bancakan tim sukses, aktor-aktor politik dan relasi-relasi kekuasaan yang mengerjakan.

Sehingga berpotensi digunakan untuk orientasi politik dan berorientasi project fee, bukan berorientasi kemajuan desa. Keempat, tidak jalanya peran pendamping desa. “Setiap desa disediakan oleh pemerintah, namun nampaknya tidak berperan sebagaimana mestinya,” ujarnya.

Selain itu, pengawasan yang tidak serius, baik inspektorat maupun BPK seharusnya terlibat secara aktif dalam mengawasi penggunaan dana desa dan samisade tersebut secara benar. Bukan hanya mengaudit laporan keuangan yang bersifat administratif.(Rizky)