Cara Berdakwah di Dunia Digital yang Aman dan Ramah

Jawa Tengah, Nusantarapos.co.id – Di era serba digital, segala aktivitas atau kegiatan dapat dilakukan secara digital, tidak terkecuali dengan bidang keagamaan, seperti dakwah.
Aina Masrurin, manager Komunitas Digital Pondok Pesantren Budaya Keliopak Yogyakarta mengatakan di era digital sekarang ini banyak masyarakat mencari atau pengetahuan melalui YouTube.
Aina mengingatkan, belajar melalui internet memiliki sisi negatifnya jika tidak didampingi oleh pembimbing atau guru.
“Belajarnya otodidak, tanpa didampingi guru. Akibatnya, ragu-ragu tentang agama dan bingung dalam pengamalannya, karena pemahamannya campur aduk,” kata Aina Masrurin di acara diskusi virtual bertema “Berdakwa Dalam Dunia Digital” yang diselenggarkan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia, Selasa (5/4/2023).

Dia menyebutkan, banyak propaganda atau hal lainnya yang tidak baik berseliweran di media sosial (medsos) di antaranya penyebaran paham radikal, tata cara membuat bom, dan sebagainya.

Lalu bagaimana cara membuat konten dakwah yang aman dan ramah di medsos? Pertama yang dilakukan adalah menentukan lingkup audiens, selanjutnya adalah menentukan platform mana yang akan digunakan.

“Apakah (platform) individu, pesan pribadi, platform organisasi atau aliran, grup medsos, atau pos publik,” ujarnya.

Selanjutnya, menentukan tonalitas atau dengan cara yang mudah diterima oleh masyarakat. Dia menyarankan, saat berdakwa agar tidak menyampaikan sesuatu yang bermakna ganda, karena dapat menimbulkan kebingungan dan berpotensi terjadinya konflik di masyarakat.
Menurut dia, seorang konten kreator harus dapat menelusuri dan mengenali latar belakang aliran atau afiliasi organisasi keagamaan. Dan, memfilter ajaran yang membuat kebencian atau kekerasan.

“Melakukan cross check dengan refrensi lain, baik yang pro maupun kontra. Dan, berkonsultasi dengan tokoh agama di dunia nyata,” tuturnya.

“Juga menahan diri untuk tidak gegabah menyebarkan konten agama,” sambung Aina.
Kesimpulannya, kata Aina, belajar agama di internet tida bisa dilakukan secara otodidak. Tetap harus ada bimbingan dari seorang guru yang otoritatif dan berkompeten di bidangnya.

“Karena keteladanan tidak bisa ditransfer hanya melalui visual dan audio. Tanpa guru, ilmu agama hanya akan menjadi wacana dan bahan bakar perdebatan. Ingat, internet adalah alat, bukan tujuan utama,” tegasnya.

Sementara, PTP Ahli Muda/Ketua Tim Kerja Kurikulum dan Kesiswaan, Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah, Juair, S.Ag., MM, M.si mengatakan, dalam ruang digital akan terjadi interaksi dan komunikasi antar kultur yang berbeda, sehingga menciptakan standar baru tentang etika. Karena itu, segala aktivitas digital di ruang digital dan menggunakan media digital memerlukan etika digital.

“Kita harus selalu menyadari bahwa kita berinteraksi dengan manusia nyata di jaringan yang lain, bukan sekedar dengan deretan karakter huruf di layar monitor, namun dengan karakter manusia sesungguhnya,” ujar Juair.

Lanjutnya, jika etika bermedia digital diabaikan maka akan terjadi berbagai pelanggaran seperti cyberbullying.
“Contoh cyberbullying membagikan data personal seseorang ke dunia maya, mengintip dan memata-matai seseorang di dunia maya, dan membalas dendam melalui penyebaran foto/video vulgar, bisa juga untuk memeras korban,” terangnya.

Pelanggaran lainnya yakni ujaran kebencian (hate speech), menyebarkan konten pornografi, perjudian, dan sebagainya.

Dia kemudian menjelaskan kalimat ‘Dakwah’ yang berasal dari kata da’a, yad’u, dan da’watan, yang berarti Memanggil, Mengajak, dan Menyerukan. “Mengajak orang lain pada kebaikan di jalan Allah yang diaktualisasikan dalam kegiatan masyarakat. Jadi, umat Muslim harus saling menyebarluaskan kebenaran kepada semua orang,” jelas Juair.

“Tidak hanya untuk sesama Muslim, karena agama Islam adalah agama toleran, menjaga perdamaian dunia,” kata Juair menambahkan.

Dengan begitu, Juair mengatakan, dakwan di medsos harus menjunjung etika, bersikap bijak, bermanfaat dan menciptakan kebaikan untuk masyarakat.
Pembicara lainnya, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Aswaja Nusantara Mlangi, Muhammad Mustafid berpendapat, pentingnya berdakwah di medsos sebagai upaya memerangi intoleransi di masyarakat.

“Setara Institute menyebut intoleransi meningkat di musim Corona. Dan, berdasarkan penelitian PPIM Jakarta tahun 2020, 67,2% narasi keagamaan di medsos didominasi kalangan konservatif,” kata Mustafid.

Mengutip dari Wahid Foundation, selama ini, orang-orang yang moderat dan toleran menjadi silent majority di medsos. Dan, jika kita abai dengan medsos, maka medsos akan diisi oleh orang-orang yang tak paham agama, ektrem dan intoleran.

Adapun ragam dakwah yang bisa dilakukan di medsos yaitu artikel ringan, meme quote dari tokoh atau ulama moderat , infografis, konten video pendek, dan podcats.

Perlu diketahui, kata Juair, pengguna Internet Indonesia mencapai 202 juta pengguna. Perubahan gaya hidup menjadi serba digital menawarkan kemudahan dan kepraktisan dalam melakukan berbagai aktivitas, sehingga membuat masyarakat semakin nyaman dan percaya dalam melakukan aktivitas digital.

“Di sisi lain tingginya aktivitas digital juga membuka potensi buruk, seperti penipuan dan pencurian akun. Maka, diperlukan pemahaman masyarakat terkait keamanan digital,” imbuhnya.

Sebagai informasi, Kemenkominfo bekerja sama dengan Siberkreasi Indonesia menggelar Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD), salah satu programnya adalah #MakinCakapDigital.
Informasi mengenai literasi digital dan info kegiatan dapat diakses melalui website info.literasidigital.id, media sosial Instagram @literasidigitalkominfo, Facebook Page, dan Kanal YouTube Literasi Digital Kominfo.