HUKUM  

Gugatan Almas Terkait Dugaan Wanprestasi Gibran Dinilai Lemah

Johanes Raharjo, SH., MH. Praktisi Hukum.

Jakarta, NUSANTARAPOS.CO.ID – Praktisi Hukum Johanes Raharjo memberikan pandangan terkait gugatan wanprestasi, menurutnya gugatan wanprestasi harus dilandasi dengan adanya perjanjian. Tergugat tidak dapat dinyatakan wanprestasi, jika tidak dilandasi dengan adanya perjanjian.

Seperti contoh gugatan wanprestasi terhadap Gibran Rakabuming Raka oleh Almas Tsaqibbirru di Pengadilan Negeri Surakarta. Dimana Kepaniteraan Pengadilan Negeri Surakarta telah menerima pendaftaran Gugatan wanprestasi yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru (Penggugat) terhadap Gibran Rakabuming Raka (Tergugat).

Johanes menjelaskan Penggugat mendalilkan dalam gugatannya bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi lantaran karena Tergugat lalai mengucapkan terimakasih kepada Penggugat. Informasi berita tersebut diperoleh dari beberapa media televisi dan juga dalam artikel di kompas.com dengan judul “Gibran Digugat Wanprestasi oleh Almas Tsaqibbirru ke PN Kota Solo, Klik sumber data : https://regional.kompas.com/read/2024/02/01/101954978/gibran-digugat-wanprestasi-oleh-almas-tsaqibbirru-ke-pn-kota-solo-ini., dikutip sebagai berikut :

“Berdasarkan surat gugatan yang diajukan oleh Almas, ada beberapa poin alasan pengugat mengajukan gugatan ke calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 tersebut.
Almas menyinggung soal peran dirinya yang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia capres-cawapres di bawah 40 tahun sudah pernah menjadi kepala daerah dan dikabulkan.
Olehnya, Gibran bisa mencalonkan diri dan mendaftar bersama Prabowo Subianto ke KPU”.

“Tertulis, bahwa maka seharusnya tergugat menunjukkan itikad baik dengan mengucapkan terima kasih kepada penggugat yang telah memberi peluang kepada tergugat sehingga dapat maju di pemilihan presiden/wakil presiden periode ini,” kata Bambang, saat dikonfirmasi.

Lebih lanjut, dalam surat gugatan tersebut dituliskan jika Gibran tidak pernah mengucapkan terima kasih kepada penggugat. “Maka dengan demikian tergugat telah melakukan wanprestasi kepada penggugat, dengan dasar tersebut,” kata dia.

Selain itu, Almas juga merasa dirugikan karena saat mengajukan permohonan nomor: 90/PUU-XXI/2023 di Mahkamah Konstitusi, penggugat harus menggunakan tim advokat dan telah mengeluarkan biaya untuk honor advokat. Penggugat meminta pembayaran secara tunai dan seketika dalam jangka waktu paling lambat 14 hari sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap.

Dalam gugatannya pula, Almas akan menggunakan uang yang dibayar tergugat untuk sebuah panti asuhan yang berada di Surakarta.

Setelah membaca artikel tersebut di atas, Penulis tertarik untuk mencermati substansi gugatan wanprestasi tersebut dari sudut pandang hukum acara perdata, yang menarik perhatian sehingga penulis mengambil contoh kasus gugatan Wanprestasi tersebut adalah karena menurut penulis bahwa gugatan aquo substansinya Wanprestasi karena Tergugat dianggap telah lalai mengucapkan terimakasih kepada Penggugat, namun gugatan aquo (jika benar, quod non ) tidak dilandasi dengan adanya suatu PERJANJIAN/KESEPAKATAN. Sedangkan dalam praktek peradilan perdata, bahwa dalam gugatan perdata yang substansinya wanprestasi harus dilandasi adanya bukti perjanjian.

Permasalahan yang menarik untuk dikaji secara hukum yaitu : Apakah Tergugat dapat dinyatakan wanprestasi apabila benar (quod non Penggugat tidak dapat membuktikan adanya Perjanjian yang mengikat antara Penggugat dengan Tergugat?

Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka terlebih dahulu perlu mengetahui mengenai pengertian WANPRESTASI / INGKAR JANJI, PERJANJIAN dan syarat-syarat sahnya perjanjian.

A. PENGERTIAN WANPRESTASI DAN DASAR HUKUMNYA

WANPRESTASI atau INGKAR JANJI atau LALAI adalah suatu keadaan dimana seseorang salah satu pihak yang terikat dalam perjanjian tidak melaksanakan perjanjian yang telah dibuatnya.
Salah satu pihak dalam perjanjian dapat dinyatakan wanprestasi apabila :
– Tidak memenuhi prestasi baik seluruhnya maupun sebagian;
– Terlambat memenuhi prestasi;
– Melakukan apa yang dilarang dalam perjanjian .

Berdasarkan Pasal 1234 KUH Perdata, menyatakan :
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Berdasarkan Pasal 1238 KUH Perdata, menyatakan :
“Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

Dengan demikian :
Berdasarkan pengertian WANPRESTASI tersebut, dapat diketahui bahwa parameter untuk menentukan seseorang dapat dinyatakan telah WANPRESTASI atau INGKAR JANJI yaitu pertama-tama yang harus diperhatikan adalah apakah ada atau tidak adanya suatu perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak dan apakah benar bahwa perjanjian tersebut telah dilanggar, diingkari atau tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh salah satu pihak.

Jika tidak dilandasi dengan adanya suatu PERJANJIAN yang mengikat, maka sulit untuk menyatakan bahwa TERGUGAT dinyatakan telah WANPRESTASI.

Logika Hukumnya, jika antara para pihak tidak ada ikatan keperdataan berupa PERJANJIAN yang sah, maka sangat tidak mungkin ada suatu ingkar janji.

B. PENGERTIAN PERJANJIAN

Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ( KUH Perdata ), yang dimaksud dengan Perjanjian adalah suatu Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Dalam pasal 1313 KUH Perdata tidak menentukan bahwa perjanjian harus secara tertulis, sehingga bentuk perjanjian dapat secara tertulis ataupun lisan. Suatu perjanjian agar dapat dinyatakan SAH, maka perjanjian harus memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata, yang menyatakan :

“Untuk Sahnya suatu Perjanjian diperlukan Empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu Perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal”

Bahwa dalam perjanjian terdapat Asas PACTA SUNT SERVANDA, makna yang terkandung dalam asas tersebut adalah bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi pembuatnya.

Asas tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH PERDATA.
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, menyatakan :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Pasal 1340 KUH Perdata, menyatakan :
“Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam pasal 1317”.

Dalam Yurisprudensi MA–RI No.568K/Sip/1983 tanggal 12 September 1983, yang kaidah hukumnya menyatakan :

“Perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak sebagai undang undang”

Dengan merujuk pasal 1313, 1320, 1338, 1340 KUH Perdata, maka dapat diketahui bahwa,
Jika suatu perjanjian tidak memenuhi ke 4 (empat) syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian tersebut TIDAK SAH. Akibat hukum jika suatu perjanjian dinyatakan tidak sah, maka perjanjian tersebut TIDAK MEMILIKI KEKUATAN MENGIKAT bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut.
Hanya Perjanjian yang dinyatakan sah saja yang dapat berlaku mengikat bagi para pihak yang membuat perjanjian, sesuai asas Pacta Sunt Servanda hanya para pihak yang membuat perjanjian yang memiliki kewajiban hukum untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai yang telah ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

Dalam suatu perjanjian, pada umumnya mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Masing-masing pihak tidak dapat dituntut atau dihukum untuk melaksanakan sesuatu hal yang tidak diatur dalam perjanjian. Seseorang tidak dapat menuntut orang lain untuk melaksanakan sesuatu yang tidak perjanjikan.

C. APABILA BENAR ( QUOD NON) JIKA TIDAK ADA PERJANJIAN YANG MENGIKAT YANG MENGATUR MENGENAI UCAPAN TERIMA KASIH, MAKA TERGUGAT TIDAK DAPAT DINYATAKAN WANPRESTASI

Bahwa, dalam sistem peradilan perkara perdata yang berlaku di Indonesia adalah mengutamakan kebenaran FORMIL. Hakim memberi putusan berdasarkan adanya alat bukti yang sah yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa (PENGGUGAT dan TERGUGAT). Suatu asas hukum dalam Hukum acara perdata yang sangat penting harus diperhatikan yaitu “siapa yang menggugat harus membuktikan dalil-dalil gugatannya” (asas Actori In Cumbit Probatio).

Dalam contoh kasus Gugatan Wanprestasi yang diajukan PENGGUGAT (ALMAS TSAQIBBIRRU) terhadap TERGUGAT ( GIBRAN RAKABUMING RAKA) di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Surakarta, maka PENGGUGAT yang wajib membuktikan dalil gugatannya.

PENGGUGAT (ALMAS TSAQIBBIRRU ) YANG WAJIB MEMBUKTIKAN DALILNYA, BAHWA TERGUGAT (GIBRAN RAKABUMING RAKA ) TELAH WANPRESTASI MELAKSANAKAN PERJANJIAN YANG MENGATUR ADANYA UCAPAN TERIMA KASIH.

Sesuai asas Actori In Cumbit Probatio, maka dalam persidangan PENGGUGAT wajib membuktikan dalil-dalilnya antara lain sebagai berikut :

1. Bukti adanya suatu PERJANJIAN antara PENGGUGAT dengan TERGUGAT yang mengatur mengenai kewajiban TERGUGAT untuk mengucapkan terima kasih kepada PENGGUGAT apabila dikabulkannya Permohonan Uji Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam MK No. 90/PUU-XXI/2023.

2. Apabila benar ( quod non ) PENGGUGAT dapat membuktikan adanya suatu PERJANJIAN antara PENGGUGAT dengan TERGUGAT yang mengatur mengenai kewajiban TERGUGAT untuk mengucapkan terima kasih kepada PENGGUGAT, maka PENGGUGAT juga harus dapat membuktikan adanya pernyataan lalai sebagaimana dimaksud dalam pasal 1238 KUH Perdata yang menyatakan :
“Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”

Apabila PENGGUGAT dapat membuktikan adanya suatu PERJANJIAN antara PENGGUGAT dengan TERGUGAT yang mengatur mengenai kewajiban TERGUGAT untuk mengucapkan terima kasih kepada PENGGUGAT, dan terhadap bukti tersebut jika TERGUGAT mengakui dan tidak membantah dalil dan bukti tersebut, maka tentunya GUGATAN WANPRESTASI dapat dikabulkan oleh Hakim yang memeriksa, mengadili, memutus perkara aquo.

Namun sebaliknya :
Apabila PENGGUGAT tidak dapat membuktikan Bukti adanya suatu PERJANJIAN antara PENGGUGAT dengan TERGUGAT yang mengatur mengenai kewajiban TERGUGAT untuk mengucapkan terima kasih kepada PENGGUGAT, maka tentunya GUGATAN WANPRESTASI tidak dapat dikabulkan oleh Hakim yang memeriksa, mengadili, memutus perkara aquo.

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk menambah wawasan mengenai Hukum Acara Perdata.

Johanes Raharjo, SH.MH                         (Praktisi Hukum)