Carut Marut Realisasi BLT Masa Pendemi Covid 19

JAKARTA,NUSANTARAPOS,-Dalam rapat terbatas jajaran kabinetnya,Presiden Jokowi menyebut penyaluran BLT di tiap desa seluruh wilayah NKRI baru mencapai 15% dan bansos tunai 25% sehingga Jokowi mengintruksikan agar birokrasi penyaluran bantuan tunai kepada masyarakat terdampak pendemi covid-19 dipermudah dan prosedur yang berbelit-belit selalu ditengarai oleh pihak birokrasi pemerintah sehingga bantuan sosial(bansos)tunai dan bantuan langsung tunai(BLT)dana desa lamban sampai sasaran,Minggu(31/5/2020).

Terkait dengan sisi akuntabilitas,Presiden Jokowi telah mendorong agar dilakukan pendampingan dari Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK),Badan Pengawas Keuangan dan pembangunan (BPKP)atau Kejaksaan Agung.Pendampingan dilakukan guna mencegah potensi penyimpangan maupun korupsi.

“Saya(Presiden Jokowi red)minta aturan itu dibuat sederhana mungkin,tanpa mengurangi akuntabilitas sehingga pelaksanaan di lapangan bisa fleksibel.Yang paling penting bagaimana mempermudah pelaksanaannya di lapangan,oleh sebab itu maka keterbukaan sangat diperlukan sekali”ungkap Jokowi dalam rapat terbatas kabinet secara daring di Istana Merdeka,Jakarta.

Presiden juga menyoroti data penerima bansos yang tidak sinkron”Oleh sebab itu,saya minta juga agar segera diselesaikan agar masyarakat yang menunggu bantuan ini,betul-betul segera bisa mendapatkannya.RT/RW,desa dilibatkan dan dibuat mekanismenya yang lebih terbuka,lebih transparan sehingga semuanya bisa diselesaikan”ucap Presiden.

Terkait data yang tidak sinkron,Menteri Sosial Juhari Batubara mengungkapkan sebagian daerah masih belum juga memberikan data calon penerima bansos tunai sepenuhnya yang berasal dari pemerintah daerah.

“Kami sudah putuskan untuk me-locked(mengunci)data yang mereka bisa,lalu sisanya di tahap kedua agar(penyaluran)tidakmenggantung di daerah tersebut”tutur Juhari.

KPK menilai masih ada kesemrawutan penyaluran bansos untuk masyarakat yang terdampak pendemi Covid-19.Plt juru bicara KPK Bidang pencegahan,Ipi Maryati Kuding menyebutkan hal itu akibat masih adanya Data Terpadu Kesejahteraan Sosial(DTSK)yang belum diperbaharui di sejumlah daerah.

“Potensi kerawanan dalam penyelenggaraan bansos,baik oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah ialah terkait pendataan penerima,klarifikasi dan validasi data,belanja barang,distribusi bantuan,serta pengawasannya”ujar Ipi dalam keterangannya pada Nusantarapos.co.id

KPK telah menerbitkan surat Edaran(SE)Nomor 11 Tahun 2020 pada 21 April 2020 tentang penggunaan DTKS dan Data Non DTKS dalam pemberian bantuan sosial ke masyarakat.Surat tersebut dapat menjadi rujukan awal pendataan hingga tingkat RT/RW.(Irianto)